Oleh: Baharudin
Jika ada hal yang paling mudah ditemukan di Bangkalan jawabannya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Governmental Organisation (NGO)
Sebagai orang yang terikat dengan Bangkalan, saya merasa kita memiliki stok LSM yang melimpah, luar biasa banyak. Kata seorang teman saking banyaknya LSM itu bahkan satu orang memiliki dan aktif di empat hingga enam LSM sekaligus.
Tentu saja hal itu baik, menunjukkan demokrasi kita sangat baik. Kebebasan berorganisasi, berkumpul dan kebebasan berpendapat kita begitu menjanjikan.
Ada banyak orang yang sudah memuji dan mengapresiasi peran LSM terhadap kemajuan Bangkalan dan kita memang tidak bisa menafikan besarnya peran mereka terhadap perbaikan Bangkalan, namun saya ingin mengambil jarak dengan orang-orang itu dan mencoba mengulas wajah gelapnya LSM di Bangkalan.
Lazimnya, LSM lahir karena orang-orang ingin membantu pemerintah memperbaiki dan memajukan daerah, membantu masyarakat bawah menyuarakan aspirasinya agar didengar oleh pemerintah. Singkatnya, LSM lahir dengan tujuan kebaikan.
Dari riset kecil-kecilan dan tidak serius yang sudah saya lakukan berbulan-bulan menghasilkan beberapa alasan yang menjadi sebab kenapa terlalu banyak LSM justru menjadi penghambat kemajuan Bangkalan.
Pertama, LSM lahir bukan karena orang-orang ingin membantu pemerintah memajukan Bangkalan atau menjadi penyalur aspirasi masyarakat bawah, namun LSM lahir karena orang-orang tidak tahu apa yang mau mereka lakukan, akhirnya daripada menganggur maka dibuatlah LSM.
Sebab-sebab kelahiran yang seperti itu menjadikan LSM yang kita miliki melimpah ruah, saya tidak mengatakan itu karena stok pengangguran kita melimpah ruah juga karena saya belum memiliki data tentang daya serap tenaga kerja di Bangkalan, melainkan LSM yang kita miliki tidak lagi Swadaya, justru sebaliknya mereka ingin di swadayakan atau mencari daya melalui LSM mereka.
Dalam satu kesempatan, saya bercakap-cakap dengan seorang teman yang sudah lulus kuliah dan kembali ke Bangkalan dan dia aktif di salah satu LSM itu. Saya tanyakan padanya kenapa memilih aktif di LSM.
“Ga tau lagi mau ngapain Har, mau kerja bingung mau kerja apa, diem dirumah gak enak sama omongan tetangga karena saya udah lulus harusnya kan kerja”.
Kedua, LSM justru jadi pedagang dengan menjual keadilan, kontrol dan perbaikan.
Diawal sudah saya sebutkan bahwa LSM hadir bukan karena keresahan, tapi karena beberapa orang tidak tahu apa yang harus dilakukan dan dikerjakan. Sebab itulah yang menimbulkan efek domino yang panjang dan salah satunya LSM dijadikan sebagai lahan mencari nafkah.
Beberapa waktu yang lalu saya membaca tulisan yang berjudul “Ternak LSM, Ternak Dinas” dari Munawwir, dan saya setuju dengan pemikirannya dan bersyukur ada orang yang mau menyuarakannya walaupun saya tahu banyak yang sadar dengan kondisi ini namun tidak setiap orang berani.
Alurnya sederhana, LSM mencari kesalahan pemerintah juga Dinas-Dinas baik itu berupa kinerja yang tidak maksimal, Data-Data yang tidak transparan, atau janji politik yang tidak ditepati.
Umumnya, orang-orang di pemerintahan tidak mau dirinya terlihat tidak becus di mata publik perihal ketidak becusan mereka mengelola daerah, maka untuk menutupi kesalahan itu agar tidak tersebar ke publik pilihannya dua, beri orang-orang LSM ini uang agar mereka tutup mulut atau beri mereka bagian atau libatkan mereka dalam pengelolaan atau program.
Adalah hal aneh, LSM berisi orang-orang yang paham sekali tentang bagaimana memajukan negara, bagaimana membangun daerah yang baik atau bagaimana mengelola daerah yang baik.
Saat berdiskusi dengan mereka atau mendengar mereka bercerita, saya salut pada bagaimana cara orang-orang ini menjelaskan tentang bahaya korupsi, tentang kenapa Bangkalan ini sulit maju karena ada yang salah dengan pengelolaanya sambil lalu menghadirkan tokoh-tokoh besar hasil dari bacaan-bacaan mereka yang banyak sekali untuk mendukung argumen mereka. Dengan raut wajah yang meyakinkan tentu saja.
Tapi begitulah, Lembaga Swadaya yang di isi oleh orang-orang yang belum berdaya akan berefek pada orang-orang ini mencari daya melalui LSM, dan mengetahui hal ini, kita pesimis dan ragu apakah banyaknya LSM yang kita miliki berbanding lurus dengan bertambahnya kemajuan dan berefek pada perbaikan.
Ada sebuah Guyonan dari seorang teman saat saya sedang asyik membaca Buku “Epistemologi Kiri”, melihat saya begitu serius membaca buku itu dia nyeletuk.
“Janga serius-serius baca buku begituan Har, nanti kamu malah jadi aktivis dan LSM-LSM itu, yang narasinya dan ucapannya idealis tapi kelakuannya sama aja brengsek”, Ucapnya sambil tertawa.
“Gak juga, kebetulan lagi bosan baca kitab dan dengar pengajian, pengen nyoba bacaan lain”, Jawab saya dengan tertawa juga.
Mengulang apa yang diucapkan Munawwir, opini ini sulit dibuktikan secara hukum, tapi kita bisa merasakannya.
Seperti angin, kita bisa merasakannya namun kita tidak akan bisa melihatnya. Dan serupa angin, LSM kita mungkin sudah banyak yang masuk angin.
*Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya