Apa Kabar RUU Keamanan Laut?

SURABAYA, KOREK.ID – (29 SEPTEMBER 2025) Sudah satu dekade sejak Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015 diteken sebagai bentuk keseriusan pemerintah memberantas praktik penangkapan ikan secara ilegal.

Namun, hingga hari ini, kasus pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia masih saja terjadi secara berulang dan meluas.
Penangkapan dua kapal ikan Vietnam di Laut Natuna Utara pada Mei 2025 menunjukkan bahwa kejahatan ini belum berhasil ditekan secara sistemik.

Bacaan Lainnya

Dalam laporan terbaru, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkap bahwa potensi kerugian negara akibat illegal fishing mencapai lebih dari Rp774 miliar hanya dalam lima bulan pertama tahun ini. Angka tersebut bukan semata soal kerugian ekonomi, melainkan menjadi alarm bagi kita semua tentang rapuhnya kedaulatan maritim yang selama ini kita banggakan.

Permasalahan pengawasan laut Indonesia saat ini bukan pada jumlah aparat, tetapi tidak adanya satu sistem komando terpadu. Berbagai lembaga KKP, TNI AL, Bakamla, Kementerian Perhubungan melalui KPLP, hingga Bea Cukai memiliki fungsi serupa di laut.

Namun, siapa yang sesungguhnya menjadi pemegang komando tunggal?
Tumpang tindih kewenangan menciptakan kebingungan di lapangan. Sebuah kapal bisa diperiksa beberapa kali oleh instansi berbeda, menciptakan ketidakpastian hukum dan efisiensi yang buruk.

Nelayan lokal pun menjadi korban terjepit antara ketatnya aturan dan lemahnya perlindungan. Rancangan Undang-Undang Keamanan Laut yang sudah lama dibahas sebenarnya menjadi peluang besar untuk menyelesaikan persoalan ini.

RUU tersebut bertujuan menyatukan fungsi pengamanan laut di bawah satu komando resmi, dengan kewenangan hukum yang kuat. Namun hingga kini, regulasi tersebut belum juga disahkan. Tanpa kejelasan hukum dan koordinasi antar lembaga, upaya menjaga kedaulatan maritim tak lebih dari sekadar retorika.

Sebagai catatan RUU Keamanan Laut telah diajukan dan dibahas dalam proses yang panjang, dengan usulan awal pemerintah ke dalam Prolegnas 2004-2009 dan pembahasan lebih lanjut pada tahun 2016 hingga 2019, sebelum RUU ini ditarik oleh pemerintah dari Prolegnas prioritas tahun 2020.

Meskipun sempat mandek, RUU ini kembali diupayakan untuk dirampungkan pada tahun 2025 karena dianggap krusial untuk landasan hukum.

Ironinya di tengah kemajuan teknologi kapal asing, armada pengawas Indonesia masih tertinggal dari sisi kecepatan, daya jangkau, dan sistem deteksi.

Sementara kapal-kapal pencuri ikan sudah menggunakan radar canggih dan alat tangkap destruktif, seperti trawl dan rumpon ilegal, petugas pengawas kita kerap kesulitan mendeteksi aktivitas mereka di zona ekonomi eksklusif.

Lebih memprihatinkan, nelayan lokal yang justru paling tahu kondisi perairan dan gerak-gerik kapal asing belum sepenuhnya diberdayakan. Padahal, laporan nelayan telah berkali-kali menjadi pemicu operasi penangkapan kapal asing.

Negara perlu secara resmi mengintegrasikan nelayan dalam sistem pengawasan laut. Mereka bisa menjadi mitra strategis diberikan pelatihan, perangkat komunikasi, dan perlindungan hukum.

Di tengah keterbatasan anggaran dan logistik, keterlibatan komunitas pesisir adalah solusi realistis sekaligus pemberdayaan. Beberapa kapal asing memang telah ditindak, bahkan ditenggelamkan.

Namun, aktor-aktor utama di balik kejahatan ini masih banyak yang belum tersentuh. Dalam sejumlah kasus, terdapat indikasi keterlibatan oknum lokal atau perlindungan dari aparat terhadap kapal pencuri ikan.

Jika penegakan hukum hanya menyasar pelaku lapangan dan mengabaikan dalang utamanya, maka efek jera tidak akan pernah tercipta.

Pemerintah harus menunjukkan komitmen serius melalui transparansi. Data publik mengenai jumlah kapal yang ditangkap, proses hukumnya, dan vonis pengadilan perlu dibuka secara berkala. Hanya dengan keterbukaan, masyarakat bisa menilai keseriusan negara dalam menjaga kekayaan lautnya.

Upaya menjaga laut tidak cukup dengan patroli dan penangkapan semata. Negara-negara yang menjadi asal kapal pencuri ikan seperti Vietnam, Tiongkok, Filipina, hingga Rusia harus ditekan melalui jalur diplomasi. Penindakan hukum di dalam negeri perlu dibarengi dengan tekanan politik di tingkat regional.

Patroli bersama, kerja sama intelijen maritim, serta penegakan hukum lintas batas menjadi opsi strategis yang harus dijajaki. Indonesia perlu aktif dalam forum maritim kawasan dan menjadikan isu illegal fishing sebagai agenda bersama.

Laut Indonesia bukan sekadar ruang geografis. Ia adalah sumber ekonomi, pangan, energi, dan jati diri bangsa. Jika kita gagal menjaga lautan kita sendiri, maka kita sedang membuka jalan bagi pihak asing menentukan masa depan bangsa ini.

Gagasan Indonesia sebagai poros maritim dunia akan tetap menjadi jargon jika kita tidak memiliki satu lembaga penjaga laut yang resmi, terpadu, dan profesional. Di saat yang sama, laut harus dilihat sebagai aset strategis yang dilindungi secara bersama, bukan semata beban pengawasan aparat.

Menjaga laut bukan pilihan melainkan kewajiban moral dan konstitusional kita sebagai bangsa maritim.

Oki Lukito, Dewan Pakar PWI Jawa Timur

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *