Demonstrasi

Oleh: Baharuddin

“Demosntrasi dilakukan hampir tiap minggu, tiap bulan dan bertahun-tahun, tapi entah kenapa kita seperti berjalan di tempat, tidak ada kemajuan. Rasanya seperti semua yang orang-orang lakukan itu sia-sia, sangat sia-sia”.

Bacaan Lainnya

Itu adalah kalimat yang ada di fikiran saya saat melihat orang-orang mau demonstrasi atau sedang melakukan demonstrasi di Bangkalan.

Saya suka menganalogikan demonstrasi itu seperti orang curhat, dan lazimnya orang-orang curhat, mereka biasanya menceritakan masalah, mulai dari percintaan, keluarga, pertemanan, hingga karir masa depan.

Demonstrasi juga seperti itu, para demonstran menceritakan masalah, mulai dari masalah pertanian, pendidikan, korupsi, kepemimpinam, sosial, hingga urusan rusaknya jalan.

Namun dalam demonstrasi yang sering terjadi di Bangkalan rasanya ada potongan yang hilang dan diganti, seperti kata sabrang, putranya cak nun itu, dalam diskusi maiyahnya itu, bahwa demonstrasi yang marak terjadi bukan orang melawan masalah, bukan orang meneriaki masalah, tapi orang melawan orang, orang meneriaki orang lain.

Demonstrasi seperti jadi ajang unjuk kekuatan, pamer popularitas dan Karnaval. Saya juga merasakan itu karena dalam beberapa kesempatan pernah terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi dan rasanya menyenangkan.

Saat ikut atau sedang merencanakan demonstrasi saya merasa seperti superhero yang memperjuangkan rakyat kecil dan merasa sangat bangga lalu menceritakannya pada adik saya, teman saya dan siapapun bahwa saya pernah melakukan demonstrasi.

Saat melakukan demonstrasi kita merasa sudah berbuat, bakar ban, ricuh, dan selesai disana. Jarang sekali kita menemukan adanya tindak lanjut dan pengawalan yang intens atas demontrasi yang sudah dilakukan.

Dari riset kecil-kecilan yang tidak terlalu serius dengan beberapa pelaku demonstrasi dan yang bukan pelaku demonstrasi, saya menyimpulkan setidaknya ada dua alasan kenapa demonstrasi yang selama ini dilakukan sulit menghasilkan perbaikan.

Pertama adalah demonstran kita tidak mengerti cara mengawal masalah, terlalu cepat berbangga diri karena sudah melakukan demonstrasi, merayakannya sebagai prestasi dan selesai disana.

Kedua, demonstran kita tidak berniat memperbaiki masalah, tapi memanfaatkan masalah yang diketahui untuk meneriaki orang yang bersangkutan, sedangkan motif kenapa melakukan itu saya belum memiliki keberanian yang cukup untuk menuliskannya.

Kalau seperti ini, mau berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun melakukan demonstrasi maka tetap tidak ada perubahan, tetap tidak ada masalah yang terselesaikan dan sulit mengharapkan perbaikan.

“Lantas apa solusi yang kamu miliki untuk memperbaiki ini”, kata seorang teman saat saya mempresentasikan hasil riset yang selama ini saya lakukan.

“Tidak ada solusinya, biarkan saja, menemukan masalah saja melelahkan apalagi menemukan solusi, biarkan itu dilakukan orang lain” jawab saya mengakhiri presentasi.

*Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *