Maritiming Indonesia

Daniel Mohammad Rosyid
_@Rosyid College of Arts_

Dalam artikel opininya di Harian Kompas 10/01/2023, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan prof. Rokhmin Dahuri menunjukkan bagaimana visi Indonesia Poros Maritim Dunia telah dirintis gagasannya oleh Bung Karno, Megawati, dan Jokowi.

Bacaan Lainnya

Rokhmin khilaf tidak menyebut presiden Habibie dengan gagasan Benua Maritimnya serta semangat beliau dalam pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan. Hemat saya, Rokhmin masih terobsesi dengan sumberdaya alam kelautan, kurang seimbang memperhatikan kemaritiman yang melihat laut lebih sebagai ruang. Mungkin perhatiannya pada jasa-jasa lingkungan laut seperti wisata bahari sudah cukup besar, namun perhatiannya pada perhubungan laut kurang, jika bukan terlalu kecil.

Membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia harus “melihat pertama dan utama laut sebagai ruang”, bukan sebagai sumberdaya alam belaka, bahkan yang terbarukan sekalipun. “Kepentingan maritim adalah kepentingan ruang”, terutama terkait dengan pergerakan manusia dan barang. Menjadi negara maritim adalah pilihan geostrategis tak terelakkan bagi sebuah negara kepulauan bercirikan Nusantara ini.

Kepentingan maritim yang utama adalah trade beserta commerce yang menyertainya. Ini berarti sektor ketiga dan keempat, bukan lagi sektor pertama dan kedua sesuai model Clark-Fisher tentang tahapan pembangunan. Sampai di sini perlu dicermati bahwa sektor 2 ini adalah sektor yang secara politik sangat sensitif.

Jokowi sekarang bilang soal hilirisasi hasil-hasil tambang yang dikagumi oleh Datuk Sri Anwar Ibrahim baru-baru ini, namun selama pengapalan hasil-hasil tambang dan olahannya tersebut masih dilakukan oleh armada asing, harga-harganya masih ditentukan di Singapura, London atau New York maka kita masih belum menjadi negara maritim.

Apalagi harga tersebut dipatok dalam US Dollar. Kedua sektor inilah sumber ketimpangan kekayaan global saat ini. Ribuan ton batubara, migas, ikan, kayu dsb yang diekspor dan dihargai dalam US Dollar adalah sumber ketidakadilan global saat AS dan sekutunya bisa printing the US Dollar out of thin air seperti sekian puluh tahun belakangan ini.

Persoalan membangun poros maritim dunia perlu dimulai dengan membenahi tata kelola pemerintahan saat ini yang oleh Laksamana Sukardi menghadapi Panca Salah. Akibatnya terjadi maladministrasi publik yang luas di mana hukum dan regulasi dibuat bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan segelintir elite politik dan ekonomi.

Investasi asing besar-besaran dipermudah, bahkan dengan melakukan resentralisasi, sehingga banyak kepala daerah yang frustasi melihat ketimpangan dana bagi hasil yang tidak berpihak pada kepentingan daerah. Perlu diingat bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan bentang alam seluas Eropa dengan keragaman hayati, budaya, dan mineral yang luar biasa.

Arsitektur kabinet saat ini masih sangat teresterial, kurang tepat untuk mewujudkan visi IPMD itu. Tidak mungkin urusan IPMD hanya diserahkan ke Menkomarinvest, tapi dibiarkan bukan agenda presiden. Pandangan Bappenas tentang pembangunan kemaritiman juga masih perlu diperbaiki seperti gagal melihat armada laut sebagai infrastruktur seperti jaringan jalan dan pelabuhan.

Subyek hukum di laut itu bukan manusia, tapi kapal yang memiliki kebangsaan. Ini memerlukan jenis administrasi pemerintahan yang berbeda sekali dengan pemerintahan daratan. Misgovernance di laut akan langsung menyebabkan iklim investasi di laut yang buruk. Hingga saat ini, pemerintah Jokowi belum hadir di laut secara efektif.

Rasulullah mengatakan bahwa 9 dari 10 rejeki datang dari perdagangan, ini adalah visi maritim beliau, Bahkan sesuai tuntunan Al Qur’an, Rasulullah sudah mendorong eksplorasi laut dan daerah daerah baru termasuk ke Nusantara dengan mengirim pendakwah sejak abad ke-7.

Salah satu anak buah kapal Columbus, Magellan ataupun Vespucci hampir pasti seorang muslim. Sebab kemiskinan kita adalah membiarkan perdagangan kekayaan alam kita dikuasai oleh bangsa-bangsa lain, dan dibayar dengan duit kertas mereka yang bisa dicetak begitu saja tanpa patokan emas.

Menjadi negara maritim adalah menjadi a trading nation yang didukung oleh pelaut yang mengawaki armada kapal berbendera Indonesia yang dibuat di galangan kapal Indonesia untuk mengangkut berbagai jenis barang buatan bangsa manapun di dunia. China sudah tidak mau lagi menjadi sekedar manufacturer of the world, kini bergerak menjadi transpoter of the world dengan prakarsa One Belt One Road nya. Agar Garuda tidak dimangsa Naga, maka Indonesiapun harus menjadi negara maritim. Tidak ada pilihan lain.

Sukolilo, 10 Januari 2023.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *