Oleh: Baharuddin
“Waktu masih mahasiswa bacaannya kiri, perlawanan, kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, teriak lantang bicara atas nama rakyat, sok aktivis, halah omong kosong. Sama aja brengseknya”. Ucap seorang teman di sela-sela makan saat kami makan sore di Warteg.
Saya tidak tahu Asbabun Nuzul kenapa teman saya itu benci sekali dengan mahasiswa yang bacaannya kiri dan teriakannya lantang dan juga aktivis.
Oh mungkin tidak benci, bisa saja dia iri. Karena dia dulu juga mahasiswa dan sepertinya juga suka buku kiri, dan teriakannya lumayan lantang, namun memiliki nasib yang berbeda perihal rezeki dan akses atau mungkin tidak dapat bagian, mungkin saja.
Saya selalu percaya, di tengah sistem ekonomi politik seperti akhir-akhir ini, tidak sulit menebak apa yang diinginkan setiap orang, tentu saja uang yang banyak. Lagi pula sumber utama di hampir setiap perkelahian dan rasa iri adalah makanan.
“Omong kosongnya dimana?”. Tanya saya.
“Maling Har, mereka sama saja brengseknya dengan orang yang mereka kritik dulu, saat tahu nikmatnya kekuasaan dan uang, mereka terlena dan jadi bagian dari maling-maling itu”. Jawabnya penuh semangat.
Saya hanya manggut-manggut dan mengiyakan, tidak baik mendebat seseorang saat sedang marah, saya harus menjelaskan pelan-pelan. Lagi pula akar dari semua kebencian itu saya pikir sama, uang dan akses.
Sebagai pribadi, saya sendiri menyetujui perilaku korupsi dan maling yang dilakukan oleh orang-orang hebat itu pada negara, dengan syarat asal saya dapat bagian.
Poinnya sederhana, kebutuhan manusia yang paling dasar adalah kebutuhan fisik, dan hampir segala jenis kebutuhan fisik yang ada di dunia alat tukarnya adalah uang.
Syarat yang kedua adalah selama uang korupsi itu digunakan di dalam negeri, beli pakaian dalam negeri, makan makanan negeri sendiri dan dihabiskan di negeri sendiri tidak masalah, itu bisa menggerakkan roda ekonomi, dan kalau bisa belanjakan lah uang itu di toko-toko pinggir jalan, itu bisa membantu rakyat kecil.
Lain halnya kalau uang itu disembunyikan di luar negeri misalnya, dipakai foya-foya disana dan disembunyikan disana, yang begini adalah buruk. Merugikan negara dan tidak ada perputaran ekonomi.
Contoh gampangnya begini, yang di korupsi APBD Kabupaten Bangkalan misalnya, maka belanjakan lah dan habiskanlah uang itu di Bangkalan jangan di Surabaya atau di luar kota yang lain. Begitu juga misalnya yang dikorupsi adalah Dana Desa, maka belanjakan lah uang itu di desa, beli makanan desa, bangun bisnis di desa, pokoknya jangan gunakan di luar desa. Ini hanya contoh.
Tentu saja uang tidak bisa membeli ketenangan dan kebahagiaan, tapi uang bisa membuat kita makan enak, jalan-jalan, membangun rumah dan memiliki istri-istri cantik. Itu impian mayoritas orang.
Saya bukan sufi, juga bukan orang yang bijaksana dan sama seperti yang lain, ingin merasakan kenikmatan duniawi.
Dalam dunia demokrasi, lazimnya ada dua posisi yang mesti diisi. Yang pertama adalah pengabdi kekuasaan, yang kedua adalah pengganggu kekuasaan. Tujuannya adalah kesejahteraan. Dan kedua-duanya, baik pengganggu atau pengabdi adalah pekerjaan. Tempat orang mendapatkan rezekinya.
Saya curiga, ucapan penuh emosi teman saya diatas mungkin bukan karena benci, melainkan karena dia tidak di pos pengganggu dan pengabdi itu, atau tidak punya tempat dalam alam demokrasi. Mungkin saja.
“Kenapa pula kamu sepakat dengan korupsi”. Tanya teman saya diatas.
“Gampang jawabannya. Korupsi itu musuh dan menurut pepatah, jika kau tidak bisa menang melawan musuhmu maka jadilah pasukannya”. Jawab saya.
Lagi pula jadi pejabat publik atau jadi aktivis itu susah, perlu relasi yang kuat, perlu akses yang kuat, perlu tenaga yang besar, perlu kecerdasan, perlu kekuatan bahkan perlu sedikit kelicikan. Rugi kalau tidak maling.
*Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya