Ternak LSM, Ternak Dinas

Oleh: Munawwir

Perbaikan, kontrol, dan keadilan, itulah alasan yang masih sangat laku dijual ke publik dalam berbagai macam urusan, mulai dari urusan politik sampai pada urusan “Perampokan”.

Bacaan Lainnya

Namun, penulis secara spesifik ingin membahas masalah gerakan masyarakat sipil dalam melakukan control terhadap lembaga pemerintah yang kerapkali menggunakan alasan perbaikan dan keadilan tersebut.

Hal ini berangkat dari pengamatan terhadap lembaga pemerintah dan sebagian gerakan masyarakat sipil yang tergabung dalam sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di kabupaten Bangkalan.

Di negara demokratis adalah sebuah keniscayaan kritik dan pemberontakan itu terjadi, karena hal itu bagian dari usaha untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas dan kegiatan dari pemerintah oleh pejabat atau aparaturnya.

Di kabupaten Bangkalan sendiri, pemberontakan para aktivis sebagai sebuah kritik terhadap pemerintah bukan hal yang baru. Gerakan kritik itu sudah hidup puluhan tahun.

Sayangnya, sampai sejauh ini masih belum ada bukti kongkrit dari sebuah gerakan yang dilakukan atas perbaikan kabupaten Bangkalan. Bahkan, pengelolaan lembaga pemerintah masih dibilang stagnan.

Persoalan administrasi masih amburadul, masalah pendataan masih selalu bermasalah, bahkan disiplin dari aparatur pemerintahnya masih dipertanyakan.

Melihat hal tersebut, penulis mempunyai dua kesimpulan sebagai penyebabnya:

Pertama, sifat gerakan yang terlalu cair, sehingga sangat mudah dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk mengalahkan atau menghancurkan sebuah gerakan.

Sifat yang mudah cair inilah yang menjadi kelemahan di setiap gerakan sebagian aktivis. Kasus klasik yang sering terjadi dan sering ditemui adalah, sebagian LSM atau aktivis sangat gampang menerima uang sogokan.

meskipun tidak pernah dibuktikan secara hukum, namun, kenyataan seperti ini nyata adanya. Bahkan kalau di Bangkalan familiar dengan istilah “Ternak LSM”.

Dari istilah tersebut saya memaknai, yang dimaksud dengan “Ternak LSM” adalah aparatur pemerintah yang sangat gampang mengendalikan LSM dengan berbagai upah, dan upah yang lumrah biasanya adalah uang.

Jika sudah berada pada posisi seperti ini, biasanya seorang aktivis atau LSM, bungkam tak bersuara, bagaikan macan hilang taringnya, alias ompong.

Kedua, lembaga atau aparatur pemerintah dibawah kendali LSM.

Setiap aparat punya salah, dan setiap lembaga ada kebobrokannya. Nah, kebiasaan aktivis biasanya mencari kesalahan dan kebobrokannya lalu kemudian dijadikan alat untuk menekan seorang aparatur negara agar patuh sesuai dengan instruksinya.

Praktek seperti ini, kalau di kabupaten Bangkalan adalah hal yang lumrah, bahwa ada kekuatan tak terlihat dibalik setiap lembaga pemerintah yang memegang kendali atas kebijakan yang ada.

Dalam istilah yang familiar “Ternak Dinas”. Kalau saya mengartikan, istilah “Ternak Dinas” ini adalah, lembaga pemerintah atau aparatur pemerintah yang bertekuk lutut terhadap kekuatan sebuah organisasi masyarakat atau perseorangan, sehingga sangat gampang untuk diperintah atau melakukan sesuatu sesuai dengan kepentingannya.

Makanya tidak heran kalau kita sering jumpai banyak oknum yang dipermudah ketika berurusan dengan pemerintah.
Dua poin itulah yang menurut kesimpulan pribadi saya menjadi kendala atas perbaikan sistem pemerintahan di kabupaten Bangkalan.

Seharusnya, aparatur Negara tidak boleh tunduk terhadap mafia yang berkedok LSM. Aparatur negara mestinya melakukan sesuatu terhadap rakyat atas nama negara dan tugas negara, yang tidak boleh tunduk terhdap siapapun kecuali pada Negara.

Untuk bisa seperti itu, setiap pejabat memang harus berani bersih dan berbenah, menjunjung tinggi good governance dan clean government sebagai asas dasar dalam dunia pemerintahan.

*Penulis adalah Presiden Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *